Monday, April 16, 2012

Pendidikan Trotoar - Sebuah Paradigma Usang Pendidikan yang Terpinggirkan

Konteks pendidikan di zona globablisasi dimana setiap jengkal tiang-tiang pendidikan berdiri di atas onggokan-onggokan sang tuan tanah, memang tidak akan pernah lepas dari lingkaran rupiah. Wacana pendidikan gratis yang diusung oleh  para calon wakil rakyat dahulu, kini menjadi sebuah realitas di balik layar. Sebagian besar para pemangku kebijakan pendidikan di sekolah-sekolah menjadikan peluang ini sebagai sebuah kail berumpan yang sewaktu waktu dapat menjerat sang napoleon. Pejuang  pendidikan pun menjadi sebuah julukan yang berusaha diraih untuk mengutas rupiah demi rupiah.

Sebagian besar dari Anda mungkin sudah pernah mendengar mengenai Pendidikan Trotoar. Ya, pendidikan trotoar adalah sebuah istilah yang saya cetuskan sebagai bentuk gejolak anak-anak miskin Indonesia yang menjadikan trotoar sebagai bangku  sekolah mereka. Istilah ini sebenarnya sudah sangat lama berada di lingkungan para anak-anak trotoar, walauun kedenganranya adalah sebuah istilah baru, namun dalam pengamatan saya, sejak Indonesia di landa krisis ekonomi pada pertengahan Juli 1997, paradigma  pendidikan trotoar sudah menjadi salah satu bagian dalam paradigma  pendidikan di Indonesia, hanya saja minimya perhatian kepada anak-anak trotoar menjadikan paradigm ini seolah-olah terpinggirkan.
                     
Tidak usah meneropong terlalu luas, di Makassar sendiri, berdasarkan data Dinas Pendidikan Propinsi Sulawesi Selatan terdapat kurang lebih 12.000 anak yang putus sekolah. Angka yang cukup banyak untuk mengisi beberapa sudut trotoar kota Makassar.

Pertanyaan kemudian yang muncul adalah Bagaimana keadaan ini bisa terjadi dan Apa solusinya?  Saya rasa pertanyaan tersebut sudah tervena di benak dan pikiran Anda jauh sebelum Anda membaca tulisan ini. Namun, Bagaimana anak-anak tersebut menjadikan trotoar sebagai tempat mereka menimba ilmu, mungkin adalah sebuah pertanyaan yang terukir di pikiran Anda saat membaca topik  tulisan ini.

Pendidikan, dalam sejarahnya pertama kali dipopulerkan di Indonesia oleh Bapak Ki Hajar Dewantara dan selanjutnya berkembang dari masa ke masa. Tidak sedikit dari kita yang mengetahui mengenai perkembangan sejarah pendidikan di Indonesia. Bias-bias ratusan tahun menjadikan pendidikan hari ini sebagai sebuah kebutuhan primer terlebih bagi anak-anak yang berumur 7 sampai dengan 12 tahun. Namun, masih saja banyak peraturan yang sangat sulit untuk dijalankan dalam memenuhi kebutuhan primer tersebut.

Akibatnya, beberapa dari mereka yang secara ekonomi sangat terbatas dalam pemenuhan kebutuhan primer ini terpaksa tidak dapat mengenyam bangku sekolah seperti layaknya.  “Kapan saja dan di mana saja” tampaknya slogan ini menjadi mindset bagi anak-anak trotoar untuk tetap mendapatkan ilmu pengetahuan.  Jika dilihat di sekitar kita, setiap trotoar yang dilalui tidak pernah luput dari anak-anak trotoar. Sebut saja di Jalan Bawakaraeng, Jalan urip Sumoharjo, Tello, Panaikang, Jalan Ratulangi dan ratusan sudut jalan di kota Makassar kini menjadi hunian nyaman bagi para anak trotoar dan keluarganya.
Tak ayal, di setiap pemberrhentian lampu merah, sering kali mereka mengusik perjalanan kita. Namun tidakkah kita melihat bahwa usikan tersebut adalah sebuah jembatan pendidikan bagi mereka.
 
Bagaimana bisa?  Jika Anda terbiasa memandang dari sisi tingkat intelektual Anda, coba geser busur kacamata Anda ke prinsip dasar belajar dimana “ belajar dapat dilakukan kapan saja dan di mana saja”. Mencoba menafsirkan sistem pendiidkan yang dianut para anak-anak tortoar yang juga belajar dari lingkungan mereka, mungkin dapat membuat kita sedikit paham akan arti pendidikan untuk mereka.

Bagi mereka yang menggunakan kemampuan vokal dalam mengais rupiah, ini adalah sebuah pendidikan seni yang hanya bisa didapatkan hanya jika mereka mengambil kursus private olah vocal, namun keterbatasan membuat hal ini menjadi tidak mungkin.

Sebagian besar anak-anak trotoar memiliki cara lain dalam mengais rupiah, sebut saja mereka yang diberi  julukan gepeng. Mendengar kata ini, tak satupun sisi positif yang muncul dibenak penilaian masyarakat. Oleh karenanya mari kita membahas dari akar negatifnya. Gepeng adalah mereka yang mengemis dijalanan atau kasarnya”peminta-minta”, yang tidak memiliki  satupun usaha yang dapat mereka lakukan untuk mendapatkan uang dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-ahri. Mengapa demikian? Nihilnya keterampilan, tertutupnya wawasan, semakin susahnya  pemenuhan kebutuhan primer, kurangnya rangkulan pemerintah dan masyarakat serta ketidak jelasan peraturan menjadikan jumlah mereka meledak dari tahun ke tahun. Beranjak dari  sisi negatif di atas,  dapat ditemukan beberapa solusi bagi para gepeng. Tidak mudah memang namun tidak begitu sulit jika kita menjadikan tempat mereka berdomisili sebagai sarana untuk meningkatkan ketarampilan mereka, memberikan sedikit celah untuk membuka wawsasan, memberikan pengetahuan naturiah mengenai alam sebagai sumber utama pemenuhan kebutuhan primer, menyisipkan motivasi kepada masyarakat ditengah-tengah kesibukan sehari-hari Anda  untuk sedikit menyisihkan perhatian buat mereka dan sedikit perduli terhadap peraturan yang terkait dengan mereka.

Lalu di mana letak korelasinya.

Sebagai seorang intelektual yang memahami dengan baik bahwa nasib bangsa ini kedepan ditentukan oleh generasi hari ini, harusnya kita dapat mengkorelasikannya.

Sebuah pendidikan seni bagi anak-anak trotoar, tidaklah berarti bahwa kita harus menyediakan staf pengajar ahli untuk menagajarkan mereka bagaimana megolah  vocal dengan baik atau meningkatkan keterampilan para gepeng tidak pula  berarti bahwa kita harus memfasilitasi mereka dengan segala macam sarana dan prasarana yang memadai.

Dalam sebuah pendidikan trotoar, pengalaman mengajarkan segalanya namun tidak perilaku dan tidak pula kemampuan standar. Dengan memberikan pengetahuan formal, setidaknya mereka mendapatkan sedikit celah wawasan yang menjadikan  mereka intelektual muda jalanan. Banyak cara yang dapat dilakukan, salah satunya adalah menyumbangkan buku-buku bekas yang kita miliki dan menyalurkannya ke sudut-sudut kota yang menurut cermat kita adalah sebuah “Jendela Dunia” bagi anak-anak trotoar.

Tanggungjawab ini berada di genggaman kita sebagai sebuah amanah yang terkandung dalam Undang-undang dasar 1945 untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.Sebuah istilah popular menyebutkan bahwa kalau bukan kita, siapa lagi, kalau bukan sekarang, kapan lagi, seertinya menjadi sebuah cermin perwujudan nyata bahwa kita, bangsa Indonesia memanglah sebuah ke- bhinekaan.

Pendidikan Trotoar
“Sebuah Paradigma Usang Pendidikan yang Terpinggirkan”


Oleh : Lisda Haryani Hanaruddin
Dosen, Aktivis, Penulis

0 comments:

Post a Comment